Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pacaran islami, adakah?

Menangkis syubhat pacaran:
Mari kita simak percakapan antara seorang ahwat dengan temannya.Saling menasihati memang sesuatu yang baik, tetapi menasihati itu sangat memerlukan ilmu. Sebagaimana imam al bukhari rahimahullah berkata, bab ilmu sebelum ucapan dan amal perbuatan. Bagaimana mungkin bisa menasihati dengan benar sedangkan ilmunya / kebenarannya saja tidak tahu? Apakah akan menasihati dengan persangkaan dan persangkaan?

A: "Aku ga butuh pacar, ga suka aktifitas pacaran walau seperti apa pun itu, ga suka liat orang pacaran, SAY NO buat pacaranlah!"
B: " Waduh segitunya ukhti"
A: "Iya...! Mana ada istilah pacaran dalam agama kita"
B: "Saya hargai prinsip ukhti, karena memang ga ada istilah pacaran dalam agama kita tapi jangan sampai menghujat orang yang pacaran juga. Ingatkanlah mereka dengan baik, dengan lemah lembut dalam memberi pengertiannya. Ukhti jangan salah lho, belum tentu juga ukhti lebih baik daripada mereka kan"
A: "Ah ga taulah!"
B: "Hmm jadi gini ukhti, jika memang ukhti tidak mau pacaran karena pacaran itu tidak sesuai ajaran agama kita cukup ukhti simpan dalam hati bukannya dgembar gemborkan seperti itu. Tuch liat ukhti jadi bahan olokan orang khan, ukhti malah dibilang munafik dan tidak mau jujur pada diri sendiri sampai dibilang ga normal karena ga mau mengenal cinta. Tidak ada salahnya kan buat antisipasi, cukup tekadkan dalam hati ukhti bahwasanya ukhti tidak mau pacaran sebelum menikah. Gampang kan ukhti_qu?!"
A: "Ngomong mank gampang sich!"
B: "Gini aja dech, kalau ada yang ga berkerudung apa akan ukhti benci dan hujat juga? Jangan salah lho, banyak juga orang yang belum berkerudung itu yang agamanya bagus malah lebih taat ibadahnya. Ingat ukhti , kita semua sama-sama hambaNya jadi kita tidak pantas menilai, karena hanya Allah lah yang pantas memberikan penilaian. Ingat ukhti, Allah SWT itu Maha Mengetahui, mungkin orang lain bisa kita bohongi tapi itu tidak berlaku buat Allah"
gemes
A: "Hikshiks..."
B: "Jyaah kok mewek"
...
Kadang kita membenci sebuah kemungkaran, tapi bukan berarti kita bisa menjamin diri kita akan terhindar dari hal tersebut. Tapi tetaplah menyampaikannya bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah perbuatan dosa. Tentunya dengan cara yang santun, tanpa haru mengolok2 mereka.
Ingat... jika ada sifat yg tidak baik pada seseorang, maka jangan benci orangnya, tapi bencilah sifatnya yaitu dengan jalan mengingatkan mereka. Tapi kalau mereka malah berbalik menuduh kita munafik, maka bersabarlah. Yang penting kita telah menyampaikan apa yg harusnya disampaikan...
Seseorang mengartikan pacaran itu dengan setiap hari bertemu, jalan bareng atau kegiatan lain yang dilakukan berdua. Padahal tidak sedikit yang memakai istilah pacaran padahal mereka saling berjauhan atau berbeda kota tempat tinggalnya, dan mereka hanya melakukan komunikasi telepon untuk sekedar menanyakan kabar atau untuk saling mengenal pribadi masing-masing sebelum pada akhirnya menuju ke jenjang pernikahan. Sebab untuk membentuk sebuah rumah tangga kita juga perlu menyatukan visi dan misi serta saling memahami satu dengan yang lain agar nantinya rumah tangga yang dibina tidak berhenti atau putus di tengah jalan.
Artikel tersebut kami kutip dari sebuah halaman. Dan terlihat bahwa si B memberikan nasihat yang tidak benar karena tidak dilandasi ilmu.
Berikut adalah nasihat dari ulama yang disertai hujjah / landasan yang kuat:
Berbagai bentuk perzinaan anggota tubuh yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

كُتِبَ عَلىَ ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ: الْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَاْلأُذُنَانِ زِنَاهُمَا اْلاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ، وَالْيَدُ زِنَاهُ الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهُ الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ

“Telah ditulis bagi setiap Bani Adam bagiannya dari zina, pasti dia akan melakukannya, kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lidah(lisan) zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, kaki zinanya adalah melangkah, sementara kalbu berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluan lah yang membenarkan atau mendustakan.”
Hadits ini menunjukkan bahwa memandang wanita yang tidak halal untuk dipandang meskipun tanpa syahwat adalah zina mata . Mendengar ucapan wanita (selain istri) dalam bentuk menikmati adalah zina telinga. Berbicara dengan wanita (selain istrinya) dalam bentuk menikmati atau menggoda dan merayunya adalah zina lisan. Menyentuh wanita yang tidak dihalalkan untuk disentuh baik dengan memegang atau yang lainnya adalah zina tangan. Mengayunkan langkah menuju wanita yang menarik hatinya atau menuju tempat perzinaan adalah zina kaki. Sementara kalbu berkeinginan dan mengangan-angankan wanita yang memikatnya, maka itulah zina kalbu. Kemudian boleh jadi kemaluannya mengikuti dengan melakukan perzinaan yang berarti kemaluannya telah membenarkan; atau dia selamat dari zina kemaluan yang berarti kemaluannya telah mendustakan. (Lihat Syarh Riyadhis Shalihin karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, pada syarah hadits no. 16 22)
Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلاً

“Dan janganlah kalian mendekati perbuatan zina, sesungguhnya itu adalah perbuatan nista dan sejelek-jelek jalan.” (Al-Isra`: 32)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حِدِيْدٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ

“Demi Allah, sungguh jika kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum dari besi, maka itu lebih baik dari menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani dan Al-Baihaqi dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 226)
Meskipun sentuhan itu hanya sebatas berjabat tangan maka tetap tidak boleh. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

وَلاَ وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ غَيْرَ أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ بِالْكَلاَمِ

“Tidak. Demi Allah, tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyentuh tangan wanita (selain mahramnya), melainkan beliau membai’at mereka dengan ucapan (tanpa jabat tangan).” (HR. Muslim)